Senin, 30 November 2009

CHAPTER 1 : (Part 2)

Perspektif Barat dan Timur

Pendekatan-pendekatan terhadap studi komunikasi memiliki kelokan yang berbeda-beda di berbagai belahan bumi, kaitannya dengan latar belakang sejarah maupun asumsi-asumsi. Teori komunikasi, misalnya, memiliki sejarah yang berbeda di Eropa (Timur) dan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, peneliti cenderung mempelajari komunikasi secara kuantitatif dalam rangka mencapai objektivitas. Meskipun para peneliti tersebut tidak pernah setuju secara mutlak pada idealnya suatu objektivitas, metode kuantitatif menjadi standar selama bertahun-tahun. Investigasi oleh peneliti Eropa, pada tahun 1970-an, di sisi lain, lebih banyak dipengaruhi oleh sejarah, budaya, kecenderungan kritis, dan dibentuk oleh perluasan dari pandangan Marxisme. Pengaruh cukup besar mengalir dua arah sebagaimana prosedur ilmiah dikembangkan di Eropa dan perspektif kritis dan kualitatif dikembangkan dan diperhatikan secara serius di Amerika Utara.

Perbedaan antara bentuk teori-teori komunikasi Barat dan Eropa mulai diperhatikan dan dibandingkan oleh para sarjana komunikasi. Teori-teori Timur cenderung berfokus pada wholeness dan unity sehingga cenderung membahas suatu permasalahan komunikasi dengan mengikutsertakan aspek-aspek yang terkait, meliputi sejarah, latar belakang, dan lainnya ke dalam proses penyatuan. Sebagian besar dari teori Timur ini menekankan pada aspek emosional dan spiritual sebagai hasil dari proses komunikasi, yang dipandang sebagai sebuah konsekuensi alamiah dan tak terencana dari peristiwa. Di sisi lain, perspektif Barat terkadang mengukur bagian-bagian tanpa harus selalu menyatukan bagian-bagian tersebut. Didominasi oleh pandangan individualisme, dalam perspektif ini orang-orang dianggap aktif dalam usahanya mencapai tujuan pribadi. Jika perspektif Timur disebutkan cenderung emosional dan spiritual, maka perspektif Barat cenderung individualistik dan kognitif. Perbedaan selanjutnya berkaitan dengan bahasa dan pemikiran. Sebagian besar Teori Barat didominasi oleh bahasa, sementara di Timur, simbol verbal, utamanya bicara/ujaran, diperlakukan dan dipandang dengan skeptis. Sementara itu apa yang banyak diperhatikan dan dijadikan fokus utama oleh filsuf Asia, dianggap sebagai pemahaman intuitif yang didapat dari pengalaman yang berbeda-beda.

Namun demikian, menurut Littlejohn, perbedaan tersebut harus disikapi secara hati-hati. Bahwa selain perbedaan, divisi Barat dan Timur juga memiliki persamaan-persamaan. Karakteristik Timur yang termanifestasi dalam pemikiran Barat juga, maupun sebaliknya. Studi ilmu komunikasi sangat luas, karenanya tidak dapat hanya dipahami dari satu paradigma saja. Dalam bukunya tersebut, Littlejohn berfokus pada teori komunikasi yang muncul di disiplin Barat, bukan dengan tujuan menafikkan perspektif lain, atau mengatakannya tidak penting, namun karena menurutnya perspektif tersebut takkan dapat diolah dan dibahas secara komprehensif bersama dalam satu teks.

Proses Inquiry dalam Kajian Ilmu Komunikasi

Sebelumnya, para peneliti di sebagian besar bidang studi menganggap komunikasi sebagai proses sekunder. Misalnya seorang psikolog mempelajari tentang tingkah laku individu, memandang komunikasi sebagai bentuk tertentu dari tingkah laku. Lalu seorang sosiolog yang memfokuskan dirinya pada masyarakat dan proses sosial, melihat komunikasi sebagai salah satu faktor sosial. Namun kini, para sarjana telah menemukan sebuah kajian studi baru yang mereka sebut komunikasi. Bidang kajian ini memiliki karakteristik, yaitu terfokus pada komunikasi sebagai topik utama.
Penelusuran terhadap sumber-sumber pemikiran dalam studi komunikasi dengan panduan uraian Littlejohn (1989), akan membawa pada apa yang dia sebut sebagai proses inquiry (penyelidikan ilmiah) dalam kajian ilmu komunikasi. Inquiry adalah studi yang dilakukan secara sistematis terhadap pengalaman-pengalaman, yang akan mengarah pada pemahaman, pengetahuan, dan bahkan teori.


Inquiry, menurut Littlejohn mencakup tiga tahapan :

Asking Questions
Observation
Constructing Answers


Dari pengembangan hingga terbentuknya teori, menurut Littlejohn, walaupun bermacam-macam bentuknya antara satu disiplin ilmu dengan lainnya, namun memiliki pola yang cukup dapat diprediksi. Semua, menurutnya, berawal dari curiosity, atau rasa ingin tahu para sarjana terhadap suatu topik. Mengenai bagaimana topik tertentu dapat menghampiri benak seorang peneliti, disebutkan secara praktikal oleh Littlejohn:

“Sometimes the topic relates to something personal in the scholar’s own life. Sometimes it is an extension of what he or she has been reading in the literature. Often a conversation with mentors or colleagues provokes an interest in particular subject. Also, professors are often challenged by qestions that come up in class discussions.”

Berangkat dari topik yang diminati, sarjana mengajukan pertanyaan tentang topik tertentu. Proses inquiry, tak lebih dari proses menanyakan pertanyaan yang menarik, penting, dan selanjutnya menyediakan jawaban yang sistematis atas pertanyaan tersebut. Untuk meraih jawaban itu, diperlukan langkah kedua, yaitu observation (pengamatan). Dalam melakukan pengamatan, diperlukan metode yang berbeda-beda –seperti yang telah disebut sebelumnya– dari satu tradisi ke tradisi lainnya. Yang manapun, seorang peneliti haruslah merencanakan terlebih dahulu metode apa yang akan digunakannya, setelah ia melakukan tahapan berikutnya: asking question. Lalu tahap selanjutnya adalah constructing answers atau membangun jawaban. Dalam proses ketiga ini, para sarjana akan berusaha untuk mendefinisikan, mendeskripsikan, dan menelaskan, menilai, dan menginterpretasikan sesuatu yang diamati, yang akan sama dengan maksud dari “teori”.
Proses penyelidikan ilmiah ini tidak berlangsung secara linier, melainkan melaju melingkar, maju mundur dari pon ke poin. Misalnya, seorang sarjana komunikasi yang memiliki sebuah rancangan investigasi ilmiah tertentu, melakukan presentasi di hadapan para kolega dalam sebuah konvensi ilmiah. Proyeknya mendapatkan ulasan dari banyak pihak, sehingga ia dapat mengetahui letak kelemahan rancangan miliknya, dan barangkali terpaksa harus kembali ke poin awal. Atau maju ke depan, dan setelah hasil penelitian tercipta, akan tercipta pertanyaan-pertanyaan baru.
Teori tidak atau jarang sekali diciptakan oleh seorang individu. Tokoh berpengaruh yang dominan bisa jadi dikenali, namun sesungguhnya teori tercipta dari pemikiran demi pemikiran, penyelidikan satu yang dilanjutkan oleh penyelidikan yang lain. Sebuah teori bisa saja diterima dan diadopsi oleh masyarakat tertentu, dan ditolak oleh masyarakat lain. Tergantung pada kesesuaian dan fungsinya untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai masyarakat tertentu. Tujuan para sarjana komunikasi selanjutnya, bukanlah mencari model standar yang dapat diaplikasikan secara universal ke dalam situasi masyarakat apapun. Sebab lagi-lagi ditegaskan oleh Littlejohn, bahwa “no single theory, no matter how large its domain, can provide a comprehensive picture of the process”.

Teori Komunikasi sebagai Sebuah Bidang Studi

Kesulitan yang dialami oleh para sarjana komunikasi pendahulu dalam mengidentifikasi teori komunikasi sebagai sebuah bidang studi terletak pada posisi komunikasi sebagai sebuah fenomena yang bersilangan dengan setiap disiplin keilmuan, dan jumlah dan kompleksitas dari perbedaan praktikal maupun filosofis dari teori-teori. Robert T. Craig berargumentasi bahwa bidang studi komunikasi tidak akan pernah bisa dipersatukan oleh sebuah teori tunggal maupun sekelompok teori-teori. Pemaksaan untuk mencari model standar yang diaplikasikan secara universal terhadap setiap situasi komunikasi, menurut Craig (1996:123) akan berakibat bidang studi komunikasi menjadi “a static field, a dead field”.
Sebaliknya, para sarjana komunikasi hendaknya mencari jenis koherensi yang berbeda tentang :

Metamodel
Metadiscourse


Metamodel berbicara tentang pemahaman umum terhadap perbedaan, persamaan, atau poin penekanan antara teori-teori. Dengan kata lain, seorang sarjana komunikasi semestinya mengetahui saat-saat kapan teori-teori komunikasi itu akan menyatu atau berbenturan. Hal inilah yang coba dilakukan oleh Littlejohn lewat bukunya Theories of Human Communication. Ia berusaha memetakan, untuk mencari hubungan antara satu teori dengan teori lainnya. Premis dasar metamodel dikemukakan oleh Craig yaitu bahwa komunikasi merupakan proses primer yang dialami oleh setiap manusia; bahwa komunikasi menyusun realita. Peristiwa bagaimana seseorang berkomunikasi tentang pengalamannya, membentuk pengalaman itu sendiri. Banyak bentuk pengalaman yang dibuat di berbagai bentuk/model komunikasi. Makna berubah dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu setting ke setting lain, dari periode waktu tertentu ke periode waktu lain, karena komunikasi itu sendiri bersifat dinamis menyebrangi macam-macam suasana.

Pentingnya pemikiran semacam ini tentang komunikasi sebagai sebuah bidang studi dideskripsikannya :

“Communication… is not a secondary phenomenon that can be explained by antecedent psychological, sociological, cultural, or economic factors; rather, communication itself is the primary constitutive social process that explains all these other factors.”

Sedangkan Metadiscourse membicarakan tentang perlunya komitmen untuk mengatur penekanan dalam teori melalui dialog. Teori berkomunikasi tentang komunikasi. Dialog di dalam bidang studi komunikasi dapat berfokus pada what dan how variasi teori itu membicarakan seputar kehidupan sosial yang di mana masyarakat tinggal di dalamnya. Selanjutnya disebutkan oleh Craig tujuh inti pokok dari wacana dialog tersebut : retorika, semiotika, fenomenologi, kibernetik, sosiopsikologi, sosiokultural, dan kritis.



BIBLIOGRAFI


Littlejohn, Stephen W. “An Overview of Contributions to Human Communication Theory from Other Diciplines” dalam Frank E. X. Dances, Human Communication Theory, Comparative Essays. 35: 243 – 279. New York: Harper & Row (1982).
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. Theories of Human Communication. Cetakan ke-8. New York: Wadsworth Publishing (2005).
Melkote, Srinivas R. Communication for Development in the Third Wosld, Theory and Practice. India: Sage Publications (1991).
Mortensen, C. David. “Communication Postulates” dalam Sanfor Weinberg (editor), Messages, A Reader in Human Communication. Cetakan ke-3. 8: 4 - 11. New York: Random House (1980).

CHAPTER 1 : PENDEKATAN KEILMUAN DALAM TEORI-TEORI KOMUNIKASI

Keywords : communication theory, scholarship

Littlejohn mengatakan bahwa mempelajari fenomena-fenomena komunikasi lewat teori-teori komunikasi ialah agar seseorang dapat melihat hal-hal yang sebelumnya tidak tampak.

Pendekatan Keilmuan dalam Teori Komunikasi

Ilmu komunikasi merupakan cabang ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner, karena pendekatan-pendekatan yang digunakan berasal dari dan menyangkut berbagai bidang keilmuan (disiplin) lain, seperti linguistik, sosiologi, antropologi, psikologi, politik, ekonomi, biologi, dan sebagainya. Sifat “kemultidisiplinan” ini tidak dapat dihindari karena luas dan kompleksnya objek pengamatan dalam ilmu komunikasi. Seperti dikatakan oleh Littlejohn dalam jurnalnya yang berjudul An Overview of Contributions to Human Communication Theory from Other Diciplines , bahwa dunia akademis dicirikan oleh tema dan bidang studinya. Jika tema meliputi subjek, topik, atau fokus yang diambil; maka bidang studi terdiri atas komunitas para sarjana yang terkait satu sama lain oleh sebuah tema tertentu. Ilmu pengetahuan tersusun oleh kerja keras para sarjana, dan didukung oleh interaksi di dalam komunitas ilmiah tersebut. Di mana seorang sarjana mempelajari metode dari sarjana lain, dan sebaliknya, ide-idenya diuji maupun dikritisi oleh sarjana lain. Dari sanalah teori-teori akhirnya dapat berkembang, tumbuh, dan bahkan berubah.
Pendekatan multidisipliner, oleh karena itu merupakan salah satu langkah penting untuk diambil para Sarjana Komunikasi yang ingin memahami fenomena komunikasi; bahwa komunikasi berada di jantung semua hubungan/interaksi manusia, dan merupakan percabangan dari disiplin ilmu lainnya. Kelebihannya, kerangka kerja multidisipliner berusaha untuk menyatukan komposisi wujud komunikasi berdasarkan kepingan yang bervariasi. Sebab, tidak satu pun teori, kata Littlejohn, “… no matter how large its domain, can provide comprehensive picture of thye process.”

Seperti halnya tak ada teori tertentu yang merupakan teori paling baik untuk memahami komunikasi secara keseluruhan, juga tidak ada definisi tunggal tentang komunikasi. Frank Dance (1970) misalnya, mengemukakan sulitnya mendefinisikan komunikasi ke dalam satu macam definisi saja yang mampu merangkum segenap pengertiannya. Karena itu ia berusaha memberikan dimensi yang dapat dijadikan acuan untuk memperjelas perbedaan antara macam konsep yang terkandung dalam definisi-definisi tentang komunikasi. Littlejohn berpendapat bahwa sebuah definisi seharusnya dievaluasi berdasarkan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan dari sebuah penyelidikan. Bisa saja terjadi dalam dua penelitian ilmiah yang berbeda, memerlukan pendefinisian komunikasi yang seringkali terpisah, dan bahkan kontradiktif antara satu definisi dengan definisi yang lain.

Jenis-Jenis Penelitian

Sementara itu, pada elemen dasar penyelidikan yang nantinya akan dilakukan oleh para sarjana komunikasi, terdapat macam-macam pendekatan keilmuan yang berlaku di kalangan masyarakat akademis. Meskipun pada elemen dasar teori-teori komunikasi memiliki persamaan, namun lewat perbedaan pendekatan keilmuan tersebut, Littejohn ingin menunjukkan bahwa penyelidikan ilmiah yang berbeda jenisnya, akan menanyakan pertanyaan yang berbeda, dan karenanya harus menggunakan pendekatan berbeda. Selanjutnya, hasil penyelidikan itu akan membawa para sarjananya menuju ke arah teori-teori yang berbeda pula.

Masyarakat ilmiah, menurut cara pandang dan objek pengamatannya, oleh Littlejohn dapat dibagi ke dalam tiga kelompok/aliran pendekatan. Yang pertama adalah pengetahuan scientific (ilmiah/empirik). Ilmu, menurut pandangan scientific, seringkali diasosiasikan dengan objektivitas. Selain menetapkan standarisasi pada objektivitas, pendekatan ini juga menekankan pada konsistensi (replications). Kedua, yakni pengetahuan humanistic (humaniora/interpretatif), yang mengasosiasikan ilmu dengan subjektivitas. Ketimbang berusaha menstandarisasi pengamatan, pendekatan humaniora bertujuan mencari interpretasi kreatif, karenanya lebih tertarik pada kasus individual ketimbang teori yang digeneralisir. Yang ketiga, adalah pengetahuan social sciences (ilmu-ilmu sosial). Pada dasarnya pendekatan ini memiliki aspek-aspek baik dari pendekatan sccientific maupun humanistic, sehingga dapat dikatakan sebagai gabungan dari keduanya. Hal ini disebabkan oleh karena objek studi ilmu-ilmu sosial, yakni manusia, memerlukan pengamatan yang cermat dan akurat, namun dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Karena selain tetap harus mengedepankan objektivitas agar hasilnya dapat bersifat umum, ilmu sosial mengedepankan faktor penjelasan dan interpretasi, karena manusia yang menjadi objek penelitiannya merupakan makhluk yang aktif baik dalam hal tindakan maupun pemikiran. Sehingga merupakan sebuah tantangan bagi peneliti dengan pendekatan ini untuk menghasilkan interpretasi yang bersifat objektif. Komunikasi meliputi pemahaman tentang bagaimana pesan dibuat, dipertukarkan, dan diinterpretasikan. Sebagai konsekuensinya, penyelidikan komunikasi menggunakan wilayah metode dari ilmiah ke humaniora, yang akan dibahas dalam chapter-chapter selanjutnya dalam buku Littlejohn tersebut.

MINDMAP ALA JOHN KECIL

Dosen mata kuliah perspektif dan teori komunikasi saya memerkenalkan buku tebal berjudul Theories of Human Communication pada perkuliahan pertama kami. Secara otoriter, ia memerintahkan kami semua memfotokopi buku itu, dan mengatakan bahwa perkuliahan selama semester ini akan mengacu pada buku tersebut.

So she’s rather fond of Littlejohn’s book, pikir saya. Tapi rupanya bukan sembarangan buku Littlejohn, tapi edisi yang ke delapan ini, yang menurutnya sangat luar biasa. Dan setelah saya baca, memang agak terjadi gegar baca. Saya sempat merasakan kalau sebelumnya belum pernah membaca buku teks yang seperti Theories of Human Communication milik Littlejohn dan Foss (eigth edition). Ini tidak seperti tipikal text book lain, banyak sekali materi yang diberikan pada masing-masing chapter, di mana masing-masing teori hanya diberikan penjelasan secara sekilas-sekilas. Tapi barangkali itulah poin yang dimaksudkan oleh pengampu mata kuliah ini, yakni there’s so little time, yet there’s so much to learn. Bahwa bukan menginginkan para mahasiswa untuk dapat mendalami semua teori, melainkan agar dapat mengkaji perspektif teori-teori komunikasi sebagai sebuah upaya untuk bisa selanjutnya memahami gambaran yang runtut tentang teori-teori komunikasi, lewat mind-map yang telah dibuat secara seksama oleh Littlejohn tersebut.

Selanjutnya dosen tersebut meminta kami membuat review dari masing-masing chapter. Di mana nanti akan dipresentasikan, dan selanjutnya ia akan memberikan apa yang tak tampak namun sebenarnya sangat penting untuk diketahui. Hal tersebut yang kami sekelas kompak namakan “benang merah”. The secret key to understand what lies beneath.

Ada juga situs yang sangat membantu, menuliskan poin-poin buku Littlejohn dalam bagan yang menarik yang bisa membantu anda memetakan bagian-bagian penting dari buku Littlejohn ini.

PASCA SARJANA ILMU KOMUNIKASI

Selama kuliah S1 dulu belum pernah saya merasa seakademis ini. Ibarat kanak-kanak, masih belum mengerti separuh apa yang saya pelajari. Tapi sudahlah, saya selamat sampai akhir, keluar dengan menyandang gelar Sarjana Ilmu Sosial.

Tapi apa sebenarnya itu komunikasi, posisinya sebagai ilmu, perspektif teoritisnya, baru benar-benar dapat saya resapi dalam perkuliahan pasca sarjana selama setengah semester ini. Membaca literatur-literatur wajib yang berkilo-kilo, dulu ibarat siksaan, dan sering saya mangkir darinya (merasa sudah cukup dengan mengutip dari skripsi kakak tingkat). Sungguh sangat hina. Tapi sekarang, perasaan akademis itu mulai tumbuh, dan rasanya ingin melahap semua literatur klasik komunikasi! (eurekaaaa!)

Saya kuliah pasca langsung dari S1, dan saat ini sedang mempersiapkan diri untuk ikut tes CPNS daerah setempat. Sembari mengisi kekosongan dan kelebihan waktu luang, saya memberikan privat untuk anak-anak tetangga, lumayan, usaha saya untuk turut mencerdaskan anak bangsa. Hari jum’at-sabtu saya kuliah, yang meskipun hanya menghabiskan sedikit akhir pekan tapi sesungguhnya cukup menyibukkan. Buktinya, tiap kamis sore, kepala saya sering mendadak migren misterius, terutama kalau ada tugas yang masih belum selesai. Dan biasanya hari sabtu sore migren itu langsung lenyap tiba-tiba. Anyway, saya menikmati kuliah S2 ini, dan ingin membagikan apa yang saya dapat dengan cara yang saya bisa.